Senin, 24 Desember 2012

Melihat Sejarah Jepang


 Jepang merupakan salah satu Negara maju yang terletak di Asia Timur, yang sangat dikenal dengan budaya dan makanannya. Dari ukuran wilayah geografisnya jepang memiliki luas Negara + 378.000 km2. Dan mulai membangun pemerintahan ketika pada tahun 1603 dimana soerang tokoh bernama  Ieyasu yang telah berhasil menyatukan seluruh Jepang, membangun Kekaisaran Edo yang sekarang kita kenal dengan Tokyo. Sebagai Negara yang kuat Jepang juga sempat bersengketa dengan China serta menjajah beberapa Negara di kawasan Asia seperti Korea Selatan pada tahun 1910-1945 dan Indonesia 1942-1945.

            Kehidupan produktifitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Jepang dikenal sangat tinggi, dan etos kerja mereka sangat dipuji didunia luar. Bahkan di Jepang budaya sangat dijunjung tinggi, sehingga di Jepang juga masih mempertahankan Kekaisaran sebagai simbol persatuan. Dan seiring perputaran waktu dan sejarah, sebagaimana sebuah pepatah “hidup selaksa perputaran roda” yang dimana tidak selamanya semua berada di atas. Begitu pula Jepang juga pernah merasakan keruntuhan yang dahsyat ditahun 1945 pada saat Perang Dunia ke-II. Disaat salah satu kota penting di Jepang yaitu Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom Atom oleh pihak Amerika Serikat pada waktu itu. Dan yang terjadi saat itu Jepang lumpuh total sehingga membuat Jepang harus menyerah tanpa syarat pada Amerika Serikat.

            Amerika Serikat (AS) menyerang dua bagian kota tersebut juga bukan karena tanpa alasan yang tepat, mereka telah jauh-jauh hari mengamati pergerakan Jepang yang terpusat di kedua kota tersebut.  Karena Hiroshima dan Nagasaki merupakan sektor pusat industri terbesar Jepang dan sektor makanan untuk Jepang kala itu. Sehingga jika kedua kota tersebut lumpuh maka Jepang akan sangat mudah ditaklukkan. Dan Ibukota Jepang di Tokyo juga takkan mampu berbuat banyak. Hampir semua industri dan infrastruktur di Jepang hancur akibat perang. Pihak sekutu melakukan repatriasi besar-besaran etnik Jepang dari Negara-negara Asia yang pernah diduduki Jepang. Dan perkiraan yang dilakukan oleh pihak Amerika Serikat (AS) tidaklah meleset, dimana setelah jatuhnya bom atom dikedua kota tersebut  Jepang langsung mengalah tanpa syarat kepada pihak Amerika Serikat.

            Kejadian tersebut menjadi catatan sejarah perang yang besar hingga kini. Meskipun hal tersebut telah menghancurkan seluruh kota Jepang, namun tidak meruntuhkan semangat dan motivasi mereka untuk bangkit dan melanjutkan kehidupan. Kebangkitan Jepang diawali dengan membangun sistem pemerintahan baru dengan pemberlakuan konstitusi baru ketika tahun 1947. Jepang ditetapkan sebagai Negara yang menganut paham pesifisme dan mengutamakan praktik demokrasi liberal. Pendudukan Amerika Serikat ( AS ) terhadap Jepang secara resmi berakhir pada tahun 1952 dengan ditanda tanganinya Perjanjian San Fransisco. Dan Jepang resmi masuk kedalam anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956.

            Awal kemerdekaan Jepang membuat mereka bangkit, dan Jepang membuktikan mereka tidak butuh waktu yang lama untuk bangkit dari badai keterpurukan. Jepang melakukan pembenahan kontruksi industri modern untuk memajukan Negara.  Sehingga pasca Perang Dunia ke-II membuat ekonomi Jepang terus membaik. Meskipun Jepang sempat merasakan krisis ekonomi, numun hal tersebut tidak terjadi dalam waktu yang lama. Dan kini Jepang sangat dikenal tidak hanya di Asia namun juga di dunia. Sehingga Jepang sempat memiliki peringkat pertumbuhan ekonomi terbesar ke tiga di dunia, dan Jepang sebagai salah satu Negara bagian Asia yang mampu menyetarakan bahu dengan Amerika Serikat (AS). Kebangkitan Jepang tidak terlepas dari konsentrasi yang mereka bangun dibidang pendidikan dan ekonomi. Dimana revitalisasi indistri-industri disana sangat berkembang pesat seperti di sektor teknologi,  elektronik, perfilman, buku, style, perikanan, pertanian, makanan bahkan budaya. Dan produk-produk dari Jepang tidak hanya menguasai pasar local saja namun mampu merambah pasar dunia.

Artikel Politik Pemerintahan Jepang
Oleh.OK Indra Perdana
 
 

Selasa, 18 Desember 2012

Ledakan Saja,,

oleh OK Perdana Indra pada 21 Maret 2012
Disini aq duduk terdiam sejenak
Memandang sluruh pesona makhluk
Senyum dan tawa mereka hanya membuatku terpana tanpa arti
Mereka smua terasa asing bagiku,,tanpa ku mengerti kenapa?
Hati seakan mengajakku berdialog tanpa suara
Tapi…
lagi-lagi dia pergi meninggalkan aq dalam keterasingan ini
Sehingga meninggalkan berbagai pertanyaan yang tak terjawab
Bukan mencoba histeris…bagai teroris
Hidup terlihat bagai misteri bom
Detiknya sedang mengejarku
Tanpa ku tau keberadaan pemicu nya
Dan jika aq terlambat menemukannya…itu akan menghancurkanku
Bagai kepingan puzzle yang berceceran…dan meninggalkan berbagai misteri,
Yang jawabannya hanya ada pada sang Khaliqul Rabb.

Minggu, 09 Desember 2012

Rumoh Geudong Diantara Tanda Luka dan Mistis

Rumoh Geudong
DIANTARA sederet kisah luka di Aceh, Rumoh Geudong (Pos Sattis, -Kopassus) memang memiliki sebuah kisah dan sejarah tersendiri bagi rakyat Aceh. Ditengah isu politik pada masa akan dicabutnya Daerah Operasi Militer (DOM) pada tanggal 7 Agustus 1999 saat Wiranto menjabat, semakin terbuka peluang atas pengungkapan berbagi kasus kejahatan HAM yang terjadi di Aceh.

Rumoh Geudong terletak di desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, atau berjarak 125 kilometer dari pusat kota Banda Aceh. Kabupaten Pidie ini menempati posisi Lintang Utara 4,39-4,60 derajat dan Bujur Timur 95,75-96,20 derajat.

Menurut alkisah dari penuturan ahli waris Rumoh Geudong ini dibangun pada tahun 1818 oleh Ampon Raja Lamkuta, putera seorang hulubalang yang tinggal di Rumoh Raya sekitar 200 meter dari Rumoh Geudong. Pada masa penjajahan oleh Belanda, rumah tersebut sering digunakan sebagai tempat pengatur strategi perang yang diprakarsai oleh Raja Lamkuta bersama rekan-rekan perjuangannya.

Namun, Raja Lamkuta akhirnya tertembak dan syahid saat digelarkan aski kepung yang dilakukan oleh tentara marsose di Pulo Syahi, Keumala berkat adanya informasi yang di dapat dari informan (cuak, dalam bahasa Aceh). Jasadnya Raja Lamkuta dikuburkan dipemakaman raja-raja di Desa Aron yang tidak jauh dari Rumoh Geudong.

Tidak berhenti begitu saja perjuangan Raja Lamkuta, adiknya Teuku Cut Ahmad akhirnya mengambil alih lagi ketika baru berusia 15 tahun untuk memimpin perjuangan terhadap Belanda, namun beliau juga syahid ditembak oleh Belanda yang mengepung Rumoh Geudong.

Pada masa-masa berikutnya, Rumoh Geudong ditempati secara berturut-turut oleh Teuku Keujren Rahman, Teuku Keujren Husein, Teuku Keujren Gade. Selanjutnya pada masa Jepang masuk dan menjajah Indonesia hingga merdeka, rumah tersebut ditempati oleh Teuku Raja Umar (Keujren Umar) anak dari Teuku Keujren Husein. Setelah Teuku Raja Umar meninggal, rumah ini ditempati anaknya Teuku Muhammad.

Pengurusan Rumoh Geudong sekaran ini dipercayakan kepada Cut Maidawati anaknya dari Teuku A. Rahman. Teuku A. Rahman mewarisi rumah tersebut berdasarkan musyawarah keluarga, dari ayahnya yang bernama Teuku Ahmad alias Ampon Muda yang merupakan anak Teuku Keujren Gade.

Peti Mati
Sebelum Rumoh Geudong digunakan sebagai pos militer (Pos Sattis) sejak April 1990. Masih menurut ahli waris, penempatan sejumlah personal aparat militer pada saat itu hanya sementara, tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebenarnya pemilik Rumoh Geudong merasa keberatan, namun para anggota Kopassus yang terlanjur menjadikan rumah tersebut menjadi pos militer sekaligus “rumah tahanan” dan tidak mau pindah lagi.

Baru pada tahun 1996, dibuatlah sebuah surat pinjam pakai rumah yang ditandatangani Muspika setempa, tetapi sayang tanpa ada tanda tangan pemilik rumah. Rumah ini juga terkenal angker karena dihuni oleh makhlus halus, sehingga para anggota aparat yang bertempat disitu sering diganggu.
Memang ikhwal adanya sebuah peti mati yang berisikan kain kafan berlumuran darah di Rumoh Geudong cukup membuat mistis para penghuninya. Dari peti mati inilah sering keluar makhlus halus yang berwujud harimau. Menurut penuturan dari pemilik rumah ini, kain kafan yang berlumuran darah dalam peti tersebut merupakan milik nenek dari hulubalang pemilik Rumoh Geudong yang meninggal dunia karena diperlakukan secara kejam oleh Belanda.

Ada gangguan yang memang dirasakan oleh para aparat di tempat itu, misalnya aparat yang beragama non muslim yang tidur di rumah atas (rumah Aceh), secara tiba-tiba ‘diturunkan’ ke rumah bawah. Pada tahun 1992, sempat terjadi juga penembakan yang dilakukan oleh seorang anggota Kopassus yang menembak mati temannya sendiri karena ia bermimpi didatangi harimau yang menyuruhnya menembak temannya itu.
Karena beberapa peristiwa ini sering mengganggu, aparat militer hanya bertahan beberapa bulan saja di Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron dan kemudian terpaksa pindah ke Desa Amud. Namun, karena alasan kurang strategis untuk sebuah pos operasi militer, anggota Kopassus memindahkan lagi posnya dari Amud ke Rumoh Geudong dengan meminta bantuan seorang ulama terkenal, Abu Kuta Krueng untuk memindahkan makhlus halus yang sering menghantui mereka yang berada di dalam peti mati melalui sebuah acara ritual kenduri (hajatan kecil).

Berakhirnya Tanda Luka
Pos Sattis atau lebih dikenal dengan Rumoh Geudong menjadi ‘neraka’ bagi masyrakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan di rumah yang mempunyai luas tanah 150 x 80 meter yang tidak jauh dari jalan raya Banda Aceh - Medan sungguh telah mengores luka berat. Tidak hanya masyarakat di luar Aceh, bahkan bagi masyarakat Aceh pun kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara (Pa’i, -istilah TNI/Polri bagi rakyat Aceh) telah melampaui akal sehat mereka.

Menurut keterangan masyarakat setempat, sejak Maret 1998 sampai DOM dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 (sekitar lima bulan, sebelum rumah itu dibakar massa), Rumoh Geudong telah dijadikan tempat tahanan sekitar lebih dari 50 orang laki-laki dan perempuan yang dituduh terlibat dalam Gerakan Pengacau Keamana-Aceh Merdeka (GPK-AM). Namun, dari penuturan seorang korban, ketika korban yang sempat ditahan di Pos Sattis selama tiga bulan, dia telah menyaksikan 78 orang dibawa ke pos dan mengalami penyiksaan-penyiksaan. Jadi, bisa diperkirakan berapa banyak masyarakat Aceh yang telah disiksa atau pun dieksekusi di tempat ini jika kembali dihitung mulai tahun 1990 sejak pertama kali Pos Sattis digunakan sampai tahun 1998.

Saat Tim Komnas HAM melakukan penyisiran dan penyelidikan ke Rumoh Geudong, tim juga menemukan berbagai barang bukti seperti kabel-kabel listrik, balok kayu berukuran 70 cm yang sebagian telah remuk serta bercak-bercak darah pada dinding-dinding rumah.

Selain itu, tim juga melakukan penyisiran dengan penggalian tanah di halaman Rumoh Geudong yang diduga dijadikan tempat sebagai tempat kuburan massal. Setelah dilakukan penggalian, tim hanya menemukan tulang jari, tangan, rambut kepala dan tulang kaki serta serpihan-serpihan tulang lainnya dari kerangka manusia.
Bagi masyarakat Aceh, kebencian terhadap Rumoh Geudong menjadikan mereka sangat mudah disulut provokasi oknum-oknum yang punya kepentingan untuk memusnahkan bukti kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang pernah dterjadi di rumah itu.

Tepat tanggal 12 Agustus 1998, sekitar 30 menit setelah Tim Komnas HAM yang dipimpin oleh Baharudin Lopa meninggalkan lokasi rumah tersebut dalam rangka mencari bukti-bukti kebenaran, akhirnya dibakar oleh massa.

Tentu hal ini sangat disayangkan, karena telah hilangnya bukti penanda sejarah atau monumen historis adanya kekejaman dan kejahatan kemanusiaan yang telah terjadi di tempat ini.

Namun, lain lagi menurut ahli waris Rumoh Geudong. Pembakaran rumah tersebut ternyata sejak tahun 1945, pernah dicoba baka oleh sekelompok orang, lagi-lagi hasil itu gagal karena tiba-tiba muncul tiga ekor harimau dari rumah dan menyerang para pelakunya. Dan entah kenapa setelah dijadikan sebagai Pos Sattis oleh aparat, Rumoh Geudong malah justru dapat dibakar.

Menurut penuturan terakhir dari ahli waris, Teuku Djakfar Ahmad: “Mungkin Rumoh Geudong itu sendiri yang ‘minta dibakar’, karena tak ingin sejarahnya ternoda. Kalau dibikin monumen, mungkin orang hanya ingat Rumoh Geudong sebagai tempat pembantaian. Sedangkan sejarah perjuangannnya bisa-bisa dilupakan orang.”

Inilah kisah tragis Rumoh Geudong, pada masa Belanda dan Jepang, rumah besar ini justru menjadi pusat perjuangan membela agama dan merebut kemerdekaan Indonesia. Semoga kisah ini menjadi sebuah sejarah yang tidak pernah dilupakan oleh rakyat Aceh, kenangan yang telah membekas menjadi satu pelajaran yang bisa diambil untuk anak cucu nantinya.

Tulisan ini disadur dari buku “Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh” ditulis oleh Dyah Rahmany P. Terbitan dari CORDOVA NGO. 
Dikutip dari Catatan Dodi Sanjaya

Menguak Tragedi Beutong Ateuh

Selain menguras habis kekayaan alam Aceh, rezim Suharto juga melancarkan genosida atas Muslim Aceh. Yang terkenal adalah masa DOM atau Operasi Jaring Merah (1989-1998). Banyak peneliti DOM sepakat jika kekejaman rezim ini terhadap Muslim Aceh bisa disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia di era 1990-an. Wilayah NAD yang sangat luas, sekujur tanahnya dijadikan kuburan massal di sana-sini. Muslim Aceh yang berabad-abad hidup dalam izzah Islam, dihinakan oleh rezim fasis Suharto serendah-rendahnya.

Jika Kamboja di bawah rezim Pol Pot dikenal memiliki The Killing Fields atau Ladang pembantaian, maka di Aceh dikenal pula Bukit Tengkorak. Di Aceh, jumlah ladang pembantaian yang besar ada 35 titik, ini jauh lebih banyak ketimbang ladang pembantaian yang ada di Kamboja.



Begitu banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang ditimpakan terhadap Muslim Aceh oleh rezim Suharto, sehingga jika dijadikan buku maka bukan mustahil, riwayat Tragedi Aceh akan menyamai tebalnya jumlah halaman koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum dibakar habis pasukan Mongol.

Dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh, salah satunya adalah tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah (Pondok Pesantren) Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999. Ironisnya, walau secara resmi DOM sudah dicabut, namun kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Tragedi yang menimpa Tengku Bantaqiah dan santrinya merupakan bukti.

Lengsernya Suharto pada Mei 1998 tidak berarti lengsernya sistem dan tabiat kekuasaan represif ala Orde Baru. Para presiden setelah Suharto seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, semuanya pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru ini. Salah satu buktinya adalah KKN yang di era reformasi ini bukannya hilang namun malah tetap abadi dan berkembang penuh inovasi.

Sebab itulah, dicabutnya status DOM di Aceh pada 1998 tidak serta-merta tercerabutnya teror dan kebiadaban yang selama ini bergentayangan di Aceh. Feri Kusuma, salah seorang aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Dalam artikel berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’, Feri mengawali dengan kalimat, “Beutong Ateuh memiliki sejarah yang cukup panjang. Daerah ini dibangun sejak masa kolonial Belanda, begitu orang Beutong bersaksi. Kecamatan Beutong Ateuh terdiri dari empat desa yaitu Blang Meurandeh, Blang Pu’uk, Kuta Teungoh dan Babak Suak. Kondisi geografisnya cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Di daerah yang terletak di antara dua gunung ini mengalir sungai Beutong yang sejuk dan jernih. Pegunungannya yang mengelilingi Beutong Ateuh termasuk gugusan Bukit Barisan…”

Eramuslim yang pernah mengunjungi hutan belantara ini di tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, menjumpai kondisi yang sangat mengenaskan. Bukan saja di Beutong Ateuh, namun juga nyaris di seluruh wilayah Aceh. Kemiskinan ada di mana-mana, padahal tanah Aceh adalah tanah yang sangat kaya raya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menghisap habis kekayaan Aceh!

Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ule Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”. Sekitar 10 kilometer dari kompi itu terpancang sebuah petunjuk jalan yang bertuliskan “SIMPANG CAMAT”; tanda menuju ke sebuah pemukiman. Namun tidak ada sebuah rumah pun di daerah ini. Sejauh mata memandang hanya tampak rerimbunan pohon besar di atas bukit dan jurang yang menganga. Tak heran jika hutan Cut Nyak Dien dan pasukannya memilih hutan ini sebagai pertahanan terakhir.

Walau berjarak lebih kurang 15 kilometer dari hutan ini, namun Kecamatan Beutong Ateuh tidak berbeda dengan hutan Simpang Camat. Di tengah-tengah hutan, kain putih usang terlihat berkibaran di areal Dayah. Kubah mushola, atap beberapa rumah, dan bilik pengajian yang berhadapan langsung dengan sungai Beutong terlihat jelas.

Tengku Bantaqiah mendirikan pesantren di desa Blang Meurandeh pada 1982 dan memberinya nama Babul Al Nurillah. Abu Bantaqiah, begitu para murid memanggilnya, adalah alim ulama yang disegani dan dihormati. Disini, Dayah Babul Al Nurillah mengajarkan ilmu agama, seni bela diri, dan juga berkebun dengan menanam berbagai macam sayuran untuk digunakan sendiri.

Kegiatan di Dayah ini tidak berbeda dengan pesantren lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Selain mereka yang menetap di Dayah, ada pula orang-orang yang sengaja datang dan belajar agama untuk mengisi libur kerja atau sekolah. Jumlahnya lebih banyak daripada santri yang tinggal di pesantren.

Di Dayah ini, para santrinya kebanyakan adalah mereka yang pernah melakukan tindakan-tindakan tak terpuji di masyarakat seperti mabuk-mabukan, mencuri atau kejahatan lain yang merugikan dirinya sendiri maupun orang banyak. “Menurut Tengku Bantaqiah, untuk apa mengajak orang yang sudah ada di dalam masjid, justru mereka yang masih di luar masjidlah yang harus kita ajak. Itulah dasar dari penerimaan orang-orang seperti mereka tadi menjadi murid di sini,” tulis Feri Kusuma.

Bantaqiah adalah ulama yang teguh pendirian, sederhana, dan tidak goyah dengan godaan dunia. Baginya, dunia ada di dalam genggamannya, bukan di hatinya. Mungkin sebab itu dia pernah menolak bergabung sebagai anggota MUI cabang Aceh. Bantaqiah juga tidak bersedia masuk ke dalam partai politik mana pun. Baginya, Partai Allah sudah lebih dari cukup, tidak untuk yang lain. Sebab itu, Bantaqiah sering difitnah oleh orang yang berseberangan dengan dirinya. Ia dituduh mengajarkan kesesatan dan pada 1985 dicap dengan sebutan Gerombolan Jubah Putih.

Pemerintah Aceh berusaha melunakkan sikap Bantaqiah dengan membangunkan sebuah pesantren untuknya, namun lokasinya di kecamatan Beutong Bawah, jauh dari Babul Al Nurillah. Ini membuatnya menolak “pesantren sogokan” tersebut. Hal ini membuat hubungan Bantaqiah dengan Pemerintah setempat kurang harmonis. Dia dituduh sebagai salah satu petinggi GAM pada 192 dan dijebloskan ke penjara dengan hukuman 20 tahun.

Ketika Habibie menggantikan Suharto dan menyempatkan diri ke Aceh, Bantaqiah dibebaskan. Namun hal ini rupanya tidak berkenan di hati tentara hasil didikan rezim Suharto.

Di mata tentara, Bantaqiah adalah sama saja dengan kelompok-kelompok bersenjata Aceh yang tidak mau menerima Pancasila. Sebab itu keberadaannya harus dienyahkan dari negeri Pancasila ini. Para tentara Suharto itu lupa, berabad-abad sebelum Pancasila lahir, berabad-abad sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir, Nanggroe Aceh Darussalam sudah menjadi sebuah negeri merdeka dan berdaulat lengkap dengan Kanun Meukota Alam, sebuah konstitusi yang sangat lengkap. Bahkan jauh lebih lengkap ketimbang UUD 1945 yang diamandemen di tahun 2002.

Sebab itu, pada Kamis, 22 Juli 1999, pasukan TNI yang terdiri dari berbagai kesatuan seperti angkatan darat dan Brimob mendirikan banyak tenda di sekitar pegunungan Beutong Ateuh. Walau warga setempat curiga, karena pengalaman membuktikan, di mana aparat bersenjata hadir dalam jumlah banyak, maka pasti darah rakyat tumpah, namun warga tidak bisa berbuat apa-apa. Firasat warga sipil terbukti. Tiba-tiba di hari itu juga terjadi insiden penembakan terhadap warga yang tengah mencari udang. Satu luka dan yang satu lagi berhasil menyelamatkan diri masuk hutan. Teror ini meresahkan warga.



Sedari subuh keesokan harinya, Jumat pagi, 23 Juli 1999, TNI dan Brimob sudah bergerak diam-diam mendekati pesantren dengan perlengkapan tempur garis pertama, yang berarti senjata api sudah terisi amunisi siap tembak. Pukul 08.00 tentara dan Bribom sudah berada di seberang sungai dekat pesantren. Dengan alasan mencari GAM, pada pukul 09.00 mereka membakar rumah penduduk yang letaknya hanya 100 meter di timur pesantren. Satu jam kemudian, pasukan tersebut mulai bergerak ke pesantren. Dengan seragam tempur lengkap dengan senjata serbu laras panjang, wajah dipulas dengan cat kamuflase berwarna hijau dan hitam, mereka mengepung pesantren dan berteriak-teriak mencaci-maki Tengku Bantaqiah dan memintanya segera menemui mereka.

Menjelang waktu sholat Jumat, para santri biasa berkumpul dengan Tengku Bantaqiah guna mendengar segala nasehat dan ilmu agama. Mendengar teriakan dari tentara yang menyebut-nyebut namanya, Bantaqiah pun datang bersama seorang muridnya. Aparat bersenjata itu tidak sabaran. Mereka merangsek ke dalam dan memerintahkan semua santri laki-laki untuk berkumpul di lapangan dengan berjongkok menghadap sungai.

Aparat dengan suara keras dan mengancam meminta agar Bantaqiah menyerahkan senjata apinya. Tengku Bantaqiah bingung karena memang tidak punya senjata apa pun, kecuali hanya pacul dan parang yang sehari-hari digunakan untuk berkebun dan membuka hutan. Aparat tidak percaya dengan semua keterangan Bantaqiah. Sebuah antena radio pemancar yang terpasang di atap pesantren dijadikan bukti oleh aparat jika selama ini Bantaqiah menjalin komunikasi dengan GAM. Padahal itu antene radio biasa.

“Komandan pasukan memerintahkan agar antena tersebut dicopot, dengan menyuruh putra Bantaqiah yang bernama Usman untuk menaiki atap pesantren. Usman langsung berjalan menuju rumahnya untuk mengambil peralatan, namun sebelum ia mencapai rumah yang jaraknya hanya tujuh meter dari tempat tentara mengumpulkan para santri, seorang anggota pasukan memukul Usman dengan popor senapan,” tulis Feri Kusuma, aktivis Kontras Aceh, berjudul “Jubah Putih di Beutong Ateuh”.

Melihat anaknya terjatuh, secara refleks Bantaqiah berlari mendekatnya hendak menolong. Tiba-tiba tentara memberondongnya dengan senjata yang dilengkapi pelontar bom. Bantaqiah dan puteranya syahid. Dengan membabi-buta, aparat murid dari Jenderal Suharto ini mengalihkan tembakan ke arah kumpulan santri. Lima puluh enam santri langsung syahid bertumbangan. Tanah Aceh kembali disiram darah para syuhadanya. Santri yang terluka dinaikkan ke truk dengan alasan akan diberi pengobatan dan yang masih hidup diminta berbaris lalu naik ke truk yang sama. Truk ini bergerak menuju Takengon, Aceh Tengah, yang berada di tengah rimba.

Di tengah perjalanan menuju Takengon, para santri diturunkan di Kilometer Tujuh. Mereka diperintahkan berjongkok di tepi jurang. Tiba-tiba salah seorang santri langsung terjun ke jurang dan menghilang dalam rimbunan hutan lebat di bawah sana. Para tentara mengguyur jurang itu dengan tembakan. Nasib para santri yang tersisa tak diketahui sampai kini. Kuat dugaan, para santri ini dibantai aparat Suharto dan dibuang ke jurang.

Sore hari, tentara memerintahkan warga setempat untuk menguburkan jasad yang ada. Para perempuan digiring menuju mushola yang ada di seberang sungai dan dilarang melihat prosesi penguburan. Aparat bersenjata ini kemudian mengamuk di pesantren. Mereka merusak dan menghancurkan semua yang ada, mereka membakar kitab-kitab agama termasuk kitab suci al-Quran dan surat Yasin yang ada di pesantren. Setelah puas membakar ayat-ayat Allah, aparat bersenjata didikan Suharto ini, kemudian kembali ke barak dengan sejumlah truk, meninggalkan warga yang tersisa yang hanya bisa menangis dan berdoa.

Setelah tragedi tersebut, warga Beutong Ateuh hanya bisa pasrah berdiam diri. Dengan segenap daya dan upaya, para santri yang tersisa—kebanyakan perempuan tua dan anak-anak kecil—membangun kembali pesantren tersebut dan meneruskan pendidikan dengan segala keterbatasan. Sampai kini, pesantren ini belum memiliki cukup dana untuk mengganti seluruh al-Quran, kitab-kitab kuning, dan surat-surat Yassin yang dibakar aparat. Juga barang-barang lain seperti seluruh pakaian, kartu tanda pengenal, dan sebagainya yang musnah terbakar. Sampai detik ini, tidak ada seorang pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diseret ke pengadilan. Tidak ada satu pun komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Qur’an dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran. Mungkin tengah menanti hukum Allah SWT atas ulah mereka. Sama seperti guru mereka: Jenderal Suharto.

Tragedi Beutong Ateuh hanyalah satu di antara jutaan tragedi kekejaman rezim Suharto terhadap Muslim Aceh. Anehnya, sampai detik ini tidak ada satu pun pejabat pemerintah, sipil maupun militer, yang terlibat kejahatan HAM sangat berat atas Muslim Aceh 
 
Dikutip dari Catatan Dodi Sanjaya

Selasa, 04 Desember 2012

Dari Bangun Hingga Tidur, Dikuasai Asing

“Segala kebutuhan hidup kita telah dikuasai asing. Parahnya lagi, kita sudah merasa menjadi manusia modern jika menggunakan barang luar negeri. Padahal milyaran dollar uang kita di jarah keluar”.

Pernahkah anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai perusahaan asing?
            Tengok saja, dari mulai minuma Aqua (74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum the Sariwangi (100% sahamnya milik Uniliver, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Uniliver), merokok Sampoerna (97% sahamnya milik Philips Morris, Amerika Serikat).
            Makan nasi, pakai beras impor. Minum manis, pakai gula impor. Makan buah, pakai buah impor. Belum lagi soal tempe yang dipatenkan Jepang. Batik dipatenkan Malaysia. Mebel Jepara dikuasai asing, kue gemblong yang panganan Jawa itu pun konon sudah diproduksi di Jepang.
            Lalu, berangkat kerja naik mobil, bus, motor, atau bajaj sekalipun, semuanya bermerk milik perusahaan asing. Di kantor, segala ruangan penyejuknya ( Air Conditioner ) menggunakan merk asing. Pakai computer, nonton teve, telepon selular termasuk operatornya, semua sudah dimiliki perusahaan asing.
            Mau belanja, pergi ke supermarket Carrefour, milik perusahaan Prancis, bahkan supermarket Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%. Atau mau ke Giant, hypermarket itu milik Dairy Farm Internasional, Malaysia (yang juga pemilik saham di supermarket Hero ). Atau, malam-malam cari cemilan ke Circle K, juga merupakan waralaba perusahaan Amerika Serikat.
            Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional, mau bank yang mana saja terserah: apa itu BCA, Danamon, BII, Bank Niaga dan bank swasta nasional lainnya, hamper semua bank swasta nasional itu sudah milik perusahaan asing ( sekaipun masih tetap melekat diistilahkan bank swasta nasional ).
            Bangun rumah pakai semen Tiga Roda bikinan Indocement, kini sudah milik Heidelberg, Jerman, yang menguasai sekitar 61,70% saham. Atau, mau pakai Semen Gresik, juga sudah milik Cemex, Meksiko. Begitupun Semen Cibinong, setali tiga uang: 77,37 % sahamnya sudah dimiliki Holchim (Swiss).[1]
            Kalau mau disebut satu persatu ketergantungan kita terhadap perusahaan asing tentunya bakal panjang daftarnya, dan memalukan. Karena akan semakin terlihat betapa sangat tergantungnya kita dengan perusahaan asing. Tapi, memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita sebenarnya ( kalau mau jujur ) sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkram negri kita. Negri yang jadi banca’an (rebutan) asing.
            Orang mungkin akan bilang, ‘’Ah, sok nasionalisme’’;’’Kuno, kampungan!’’ Atau alasan lebih kerennya lagi: ‘’Di era globalisasi ekonomi ini , di zaman modern seperti sekarang ini, tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perdagangan internasional. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal, bahkan kesulitan ekonomi, jika menolak masuknya investasi asing’’. Begitulah ucapan yang kerap dilontarkan, bahkan pejabat pemerintah Indonesia, yang intinya slalu membela bangsa asing. Padahal, dengan kondisi seperti sekarang ini, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia yang masuk menguasai berbagai bidang (sebagaimana di singgung diatas), toh Indonesia masih juga tetap jauh tertinggal dari Negara-negara tetangganya alias tetap saja miskin.
            Ada pula yang berpendapat, investasi asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan lokal menjadi milik asing itu tidak masalah. Toh, mereka (baca: perusahaan asing) membuka lapangan kerja, bayar pajak, menumbuhkan perekonomian nasional (?), dan segudang alasan hebat lainnya.
            Boleh jadi, disatu sisi bisa dipahami alasan itu. Tapi, persoalannya, apakah kita tidak mengelus dada melihat segala macam produk kebutuhan masyarakat itu telah dikuasai dan demi keuntungan asing? Sudahkah dihitung berapa repatriasi (pemulangan) keuntungan yang dibawa oleh perusahaan asing ke negerinya masing-masing? Pasti besar, dan triliunan rupiah. Sebab, logikanya, perusahaan asing tentu tidak mau berinvestasi di Indonesia-dengan segala kemudahannya-jika tidak dapat meraup untung gila-gilaan. Lalu dampaknya? Pada gilirannya, kita akan kerepotan nantinya, lantaran begitu banyak dollar yang keluar dari sini akibat dari repatriasi ini.
            Patut disadari, persoalannya disini bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyatnya pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton?
Sekarang coba saja renungkan. Andai saja perusahaan-perusahaan asing itu memang sejak awal menanamkan modal lewat PMA (penanaman modal asing) dengan ketentuan pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak boleh digarap, barangkali tak begitu masalah. Tapi ini tidak demikian. Perusahaan asing itu justru telah membeli (saham mayoritas) perusahaan local (termasuk perusahaan plat merah yang diprivatisasi) yang sebetulnya sudah memiliki pasar dan menggantungkan. Jadi sebetulnya, perusahaan asing itu tinggal memetik hasil keuntungannya. Ibarat kata, perusahaan asing itu ditawari barang bagus, ya dibeli karena menjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat.

“ Maka, menjadi pertanyaan kemudian: kita (negara ini) punya barang bagus, lho kok dijual ke asing? Coba, siapa yang berani bilang bahwa rook keluaran Sampoerna itu rugi? Tapi, toh saham Sampoerna dijual ke Malboro. Atau, siapa bilang Indosat, Telkomsel, Bank BCA, Semen Tiga Roda, itu merupakan perusahaan-perusahaan merugi sehingga harus dijual ke asing? “.

            Memang, secara hitung-hitungan ekonomis, bagi pengusaha swasta local dengan menjual sahamnya ke pihak asing akan mendapat fresh money yang besar. Seperti halnya pemilik pabrik rokok Sampoerna mendapat uang tunai sebesar Rp. 18,58 triliun dengan menjual 40% saham milik keluarga Sampoerna ke Philip Morris, pemegang merk rokok Malboro, asal Amerika Serikat. Bahkan, selanjutnya, Philip Morris pun terus memburu saham Sampoerna melalui penawaran tender , yang akhirnya menguasai 97% saham PT HM Sampoerna, dengan mengeluarkan dana Rp. 45,066 triliun. “ Semua kami bayar dengan dana tunai,’’ ungkap Martin King, sesaat setelah dinobatkan menjadi Presdir HM Sampoerna yang baru.[2] Alhasil, berpindah tanganlah perusahaan local kebanggaan Indonesia itu ke tangan perusahaan asal Amerika Serikat.
            Jadi, pengusaha lokal membangun usaha, sudah maju, lalu saham dijual keperusahaan asing, dan mereka dapat duit gede. Ibaratnya, jual beli perusahaan. Tak peduli nasionalisme. Tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing. Begitulah, cara berfikir pedagang (pengusaha): selau cari untung.
            Tapi celakanya, cara berfikir (baca:mental) pedagang itu juga diadopsi mentah-mentah oleh para birokrat, para pengelola negri ini (baca:pejabat pemerintah dan legislatif), terutama pemegang otoritas perusahaan-perusahaan Negara atau lebih akrab disebut BUMN. Alasannya: privatisasi!
            Cara-cara pengusaha swasta lokal yang menjual perusahaannya ke tangan asing atau pelepasan saham pemerintah di BUMN itu kepihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi. Caranya, melalui produk hokum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing.
            Jadi, kalau sekarang ini perusahaan asing bisa meraja lela menguasai lahan-lahan di Indonesia, tentu saja hal ini besar kemungkinannya ada unsure kesengajaan dari pihak kita. Dan, hal inilah yang patut dipertanyakan: kenapa bisa? Alasan klasiknya, lantaran ekonomi kita sedang krisis, pemerintah tidak punya duit, pemerintah perlu menutup lobang APBN, dan alasan segudang lainnya. Namun, apakah pembuat kebijakan tidak memikirkan apa imbasnya, bagaimana untung ruginya untuk masa depan bangsa ini, berapa besar repatriasi (pemulangan) yang dibawa bangsa asing dari negri ini, berapa banyak karyawan atau buruh yang bakal menganggur? Bukankah dengan membiarkan semakin jauh hal ini akan mengakibatkan tingginya ketergantungan kita terhadap pihak asing? Dengan kata lain, kita sudah menyerahkan diri dibawah cengkraman atau dijajah pihak asing, dan kita semakin tidak punya daya, harga diri, dan keberanian. Kita memang sudah dijajah tanpa senjata, tanpa harus berperang.

Diangkat dari catatan
Buku Di Bawah Cengkraman Asing
Karya Wawan Tunggul Alam


[1] Majalah Swa, Juli 2006
[2] Kompas, 19 Mei 2005