“Segala kebutuhan hidup kita
telah dikuasai asing. Parahnya lagi, kita sudah merasa menjadi manusia modern
jika menggunakan barang luar negeri. Padahal milyaran dollar uang kita di jarah
keluar”.
Pernahkah
anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya
telah dikuasai perusahaan asing?
Tengok saja, dari mulai minuma Aqua
(74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum the
Sariwangi (100% sahamnya milik Uniliver, Inggris), minum susu SGM (milik Sari
Husada yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux,
sikat gigi pakai Pepsodent (milik Uniliver), merokok Sampoerna (97% sahamnya
milik Philips Morris, Amerika Serikat).
Makan nasi, pakai beras impor. Minum
manis, pakai gula impor. Makan buah, pakai buah impor. Belum lagi soal tempe
yang dipatenkan Jepang. Batik dipatenkan Malaysia. Mebel Jepara dikuasai asing,
kue gemblong yang panganan Jawa itu pun konon sudah diproduksi di Jepang.
Lalu, berangkat kerja naik mobil,
bus, motor, atau bajaj sekalipun, semuanya bermerk milik perusahaan asing. Di
kantor, segala ruangan penyejuknya ( Air Conditioner ) menggunakan merk asing.
Pakai computer, nonton teve, telepon selular termasuk operatornya, semua sudah
dimiliki perusahaan asing.
Mau belanja, pergi ke supermarket
Carrefour, milik perusahaan Prancis, bahkan supermarket Alfa pun sudah jadi
milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%. Atau mau ke Giant, hypermarket itu
milik Dairy Farm Internasional, Malaysia (yang juga pemilik saham di
supermarket Hero ). Atau, malam-malam cari cemilan ke Circle K, juga merupakan
waralaba perusahaan Amerika Serikat.
Mau menabung atau mengambil uang di
bank swasta nasional, mau bank yang mana saja terserah: apa itu BCA, Danamon,
BII, Bank Niaga dan bank swasta nasional lainnya, hamper semua bank swasta
nasional itu sudah milik perusahaan asing ( sekaipun masih tetap melekat
diistilahkan bank swasta nasional ).
Bangun rumah pakai semen Tiga Roda
bikinan Indocement, kini sudah milik Heidelberg, Jerman, yang menguasai sekitar
61,70% saham. Atau, mau pakai Semen Gresik, juga sudah milik Cemex, Meksiko.
Begitupun Semen Cibinong, setali tiga uang: 77,37 % sahamnya sudah dimiliki
Holchim (Swiss).
Kalau mau disebut satu persatu
ketergantungan kita terhadap perusahaan asing tentunya bakal panjang daftarnya,
dan memalukan. Karena akan semakin terlihat betapa sangat tergantungnya kita
dengan perusahaan asing. Tapi, memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita
sebenarnya ( kalau mau jujur ) sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas
Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkram negri kita.
Negri yang jadi banca’an (rebutan)
asing.
Orang mungkin akan bilang, ‘’Ah, sok
nasionalisme’’;’’Kuno, kampungan!’’ Atau alasan lebih kerennya lagi: ‘’Di era
globalisasi ekonomi ini , di zaman modern seperti sekarang ini, tentunya kita
tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perdagangan internasional.
Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal, bahkan kesulitan ekonomi, jika menolak
masuknya investasi asing’’. Begitulah ucapan yang kerap dilontarkan, bahkan
pejabat pemerintah Indonesia, yang intinya slalu membela bangsa asing. Padahal,
dengan kondisi seperti sekarang ini, sekalipun sudah banyak perusahaan asing
bercokol di Indonesia yang masuk menguasai berbagai bidang (sebagaimana di
singgung diatas), toh Indonesia masih juga tetap jauh tertinggal dari Negara-negara
tetangganya alias tetap saja miskin.
Ada pula yang berpendapat, investasi
asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan lokal menjadi milik asing itu
tidak masalah. Toh, mereka (baca: perusahaan asing) membuka lapangan kerja,
bayar pajak, menumbuhkan perekonomian nasional (?), dan segudang alasan hebat
lainnya.
Boleh jadi, disatu sisi bisa
dipahami alasan itu. Tapi, persoalannya, apakah kita tidak mengelus dada
melihat segala macam produk kebutuhan masyarakat itu telah dikuasai dan demi
keuntungan asing? Sudahkah dihitung berapa repatriasi (pemulangan) keuntungan
yang dibawa oleh perusahaan asing ke negerinya masing-masing? Pasti besar, dan
triliunan rupiah. Sebab, logikanya, perusahaan asing tentu tidak mau
berinvestasi di Indonesia-dengan segala kemudahannya-jika tidak dapat meraup
untung gila-gilaan. Lalu dampaknya? Pada gilirannya, kita akan kerepotan
nantinya, lantaran begitu banyak dollar yang keluar dari sini akibat dari
repatriasi ini.
Patut disadari, persoalannya disini
bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan asing itu menguasai
begitu dahsyatnya pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton?
Sekarang
coba saja renungkan. Andai saja perusahaan-perusahaan asing itu memang sejak
awal menanamkan modal lewat PMA (penanaman modal asing) dengan ketentuan
pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak boleh
digarap, barangkali tak begitu masalah. Tapi ini tidak demikian. Perusahaan
asing itu justru telah membeli (saham mayoritas) perusahaan local (termasuk
perusahaan plat merah yang diprivatisasi) yang sebetulnya sudah memiliki pasar
dan menggantungkan. Jadi sebetulnya, perusahaan asing itu tinggal memetik hasil
keuntungannya. Ibarat kata, perusahaan asing itu ditawari barang bagus, ya
dibeli karena menjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat.
“ Maka, menjadi pertanyaan
kemudian: kita (negara ini) punya barang bagus, lho kok dijual ke asing? Coba,
siapa yang berani bilang bahwa rook keluaran Sampoerna itu rugi? Tapi, toh
saham Sampoerna dijual ke Malboro. Atau, siapa bilang Indosat, Telkomsel, Bank
BCA, Semen Tiga Roda, itu merupakan perusahaan-perusahaan merugi sehingga harus
dijual ke asing? “.
Memang, secara hitung-hitungan
ekonomis, bagi pengusaha swasta local dengan menjual sahamnya ke pihak asing
akan mendapat fresh money yang besar. Seperti halnya pemilik pabrik rokok
Sampoerna mendapat uang tunai sebesar Rp. 18,58 triliun dengan menjual 40%
saham milik keluarga Sampoerna ke Philip Morris, pemegang merk rokok Malboro,
asal Amerika Serikat. Bahkan, selanjutnya, Philip Morris pun terus memburu
saham Sampoerna melalui penawaran tender , yang akhirnya menguasai 97% saham PT
HM Sampoerna, dengan mengeluarkan dana Rp. 45,066 triliun. “ Semua kami bayar
dengan dana tunai,’’ ungkap Martin King, sesaat setelah dinobatkan menjadi Presdir
HM Sampoerna yang baru.
Alhasil, berpindah tanganlah perusahaan local kebanggaan Indonesia itu ke
tangan perusahaan asal Amerika Serikat.
Jadi, pengusaha lokal membangun
usaha, sudah maju, lalu saham dijual keperusahaan asing, dan mereka dapat duit gede. Ibaratnya, jual beli perusahaan.
Tak peduli nasionalisme. Tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing.
Begitulah, cara berfikir pedagang (pengusaha): selau cari untung.
Tapi celakanya, cara berfikir
(baca:mental) pedagang itu juga diadopsi mentah-mentah oleh para birokrat, para
pengelola negri ini (baca:pejabat pemerintah dan legislatif), terutama pemegang
otoritas perusahaan-perusahaan Negara atau lebih akrab disebut BUMN. Alasannya:
privatisasi!
Cara-cara pengusaha swasta lokal yang
menjual perusahaannya ke tangan asing atau pelepasan saham pemerintah di BUMN
itu kepihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi. Caranya, melalui produk hokum
yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing.
Jadi, kalau sekarang ini perusahaan
asing bisa meraja lela menguasai lahan-lahan di Indonesia, tentu saja hal ini
besar kemungkinannya ada unsure kesengajaan dari pihak kita. Dan, hal inilah
yang patut dipertanyakan: kenapa bisa? Alasan klasiknya, lantaran ekonomi kita
sedang krisis, pemerintah tidak punya duit, pemerintah perlu menutup lobang
APBN, dan alasan segudang lainnya. Namun, apakah pembuat kebijakan tidak
memikirkan apa imbasnya, bagaimana untung ruginya untuk masa depan bangsa ini,
berapa besar repatriasi (pemulangan) yang dibawa bangsa asing dari negri ini,
berapa banyak karyawan atau buruh yang bakal menganggur? Bukankah dengan
membiarkan semakin jauh hal ini akan mengakibatkan tingginya ketergantungan
kita terhadap pihak asing? Dengan kata lain, kita sudah menyerahkan diri
dibawah cengkraman atau dijajah pihak asing, dan kita semakin tidak punya daya,
harga diri, dan keberanian. Kita memang sudah dijajah tanpa senjata, tanpa
harus berperang.
Diangkat dari catatan
Buku Di Bawah Cengkraman Asing
Karya Wawan Tunggul Alam