Selasa, 04 Desember 2012

Dari Bangun Hingga Tidur, Dikuasai Asing

“Segala kebutuhan hidup kita telah dikuasai asing. Parahnya lagi, kita sudah merasa menjadi manusia modern jika menggunakan barang luar negeri. Padahal milyaran dollar uang kita di jarah keluar”.

Pernahkah anda menyadari, dari bangun tidur, beraktivitas, hingga tidur lagi, semuanya telah dikuasai perusahaan asing?
            Tengok saja, dari mulai minuma Aqua (74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis), atau minum the Sariwangi (100% sahamnya milik Uniliver, Inggris), minum susu SGM (milik Sari Husada yang 82% sahamnya dikuasai Numico, Belanda), mandi dengan sabun Lux, sikat gigi pakai Pepsodent (milik Uniliver), merokok Sampoerna (97% sahamnya milik Philips Morris, Amerika Serikat).
            Makan nasi, pakai beras impor. Minum manis, pakai gula impor. Makan buah, pakai buah impor. Belum lagi soal tempe yang dipatenkan Jepang. Batik dipatenkan Malaysia. Mebel Jepara dikuasai asing, kue gemblong yang panganan Jawa itu pun konon sudah diproduksi di Jepang.
            Lalu, berangkat kerja naik mobil, bus, motor, atau bajaj sekalipun, semuanya bermerk milik perusahaan asing. Di kantor, segala ruangan penyejuknya ( Air Conditioner ) menggunakan merk asing. Pakai computer, nonton teve, telepon selular termasuk operatornya, semua sudah dimiliki perusahaan asing.
            Mau belanja, pergi ke supermarket Carrefour, milik perusahaan Prancis, bahkan supermarket Alfa pun sudah jadi milik Carrefour dengan penguasaan saham 75%. Atau mau ke Giant, hypermarket itu milik Dairy Farm Internasional, Malaysia (yang juga pemilik saham di supermarket Hero ). Atau, malam-malam cari cemilan ke Circle K, juga merupakan waralaba perusahaan Amerika Serikat.
            Mau menabung atau mengambil uang di bank swasta nasional, mau bank yang mana saja terserah: apa itu BCA, Danamon, BII, Bank Niaga dan bank swasta nasional lainnya, hamper semua bank swasta nasional itu sudah milik perusahaan asing ( sekaipun masih tetap melekat diistilahkan bank swasta nasional ).
            Bangun rumah pakai semen Tiga Roda bikinan Indocement, kini sudah milik Heidelberg, Jerman, yang menguasai sekitar 61,70% saham. Atau, mau pakai Semen Gresik, juga sudah milik Cemex, Meksiko. Begitupun Semen Cibinong, setali tiga uang: 77,37 % sahamnya sudah dimiliki Holchim (Swiss).[1]
            Kalau mau disebut satu persatu ketergantungan kita terhadap perusahaan asing tentunya bakal panjang daftarnya, dan memalukan. Karena akan semakin terlihat betapa sangat tergantungnya kita dengan perusahaan asing. Tapi, memang begitulah realitanya, bahwa bangsa kita sebenarnya ( kalau mau jujur ) sudah dijajah bangsa asing. Kalau dulu sebatas Belanda dan Jepang, sekarang ini beragam bangsa asing mencengkram negri kita. Negri yang jadi banca’an (rebutan) asing.
            Orang mungkin akan bilang, ‘’Ah, sok nasionalisme’’;’’Kuno, kampungan!’’ Atau alasan lebih kerennya lagi: ‘’Di era globalisasi ekonomi ini , di zaman modern seperti sekarang ini, tentunya kita tidak bisa menolak pengaruh dan terhindar dari perdagangan internasional. Bangsa Indonesia akan jauh tertinggal, bahkan kesulitan ekonomi, jika menolak masuknya investasi asing’’. Begitulah ucapan yang kerap dilontarkan, bahkan pejabat pemerintah Indonesia, yang intinya slalu membela bangsa asing. Padahal, dengan kondisi seperti sekarang ini, sekalipun sudah banyak perusahaan asing bercokol di Indonesia yang masuk menguasai berbagai bidang (sebagaimana di singgung diatas), toh Indonesia masih juga tetap jauh tertinggal dari Negara-negara tetangganya alias tetap saja miskin.
            Ada pula yang berpendapat, investasi asing atau beralihnya kepemilikan perusahaan lokal menjadi milik asing itu tidak masalah. Toh, mereka (baca: perusahaan asing) membuka lapangan kerja, bayar pajak, menumbuhkan perekonomian nasional (?), dan segudang alasan hebat lainnya.
            Boleh jadi, disatu sisi bisa dipahami alasan itu. Tapi, persoalannya, apakah kita tidak mengelus dada melihat segala macam produk kebutuhan masyarakat itu telah dikuasai dan demi keuntungan asing? Sudahkah dihitung berapa repatriasi (pemulangan) keuntungan yang dibawa oleh perusahaan asing ke negerinya masing-masing? Pasti besar, dan triliunan rupiah. Sebab, logikanya, perusahaan asing tentu tidak mau berinvestasi di Indonesia-dengan segala kemudahannya-jika tidak dapat meraup untung gila-gilaan. Lalu dampaknya? Pada gilirannya, kita akan kerepotan nantinya, lantaran begitu banyak dollar yang keluar dari sini akibat dari repatriasi ini.
            Patut disadari, persoalannya disini bukan menolak perdagangan global, bukan menolak perusahaan asing itu menguasai begitu dahsyatnya pasar di Indonesia sementara kita hanya menjadi penonton?
Sekarang coba saja renungkan. Andai saja perusahaan-perusahaan asing itu memang sejak awal menanamkan modal lewat PMA (penanaman modal asing) dengan ketentuan pembatasan saham dan bidang-bidang mana saja yang boleh dan tidak boleh digarap, barangkali tak begitu masalah. Tapi ini tidak demikian. Perusahaan asing itu justru telah membeli (saham mayoritas) perusahaan local (termasuk perusahaan plat merah yang diprivatisasi) yang sebetulnya sudah memiliki pasar dan menggantungkan. Jadi sebetulnya, perusahaan asing itu tinggal memetik hasil keuntungannya. Ibarat kata, perusahaan asing itu ditawari barang bagus, ya dibeli karena menjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat.

“ Maka, menjadi pertanyaan kemudian: kita (negara ini) punya barang bagus, lho kok dijual ke asing? Coba, siapa yang berani bilang bahwa rook keluaran Sampoerna itu rugi? Tapi, toh saham Sampoerna dijual ke Malboro. Atau, siapa bilang Indosat, Telkomsel, Bank BCA, Semen Tiga Roda, itu merupakan perusahaan-perusahaan merugi sehingga harus dijual ke asing? “.

            Memang, secara hitung-hitungan ekonomis, bagi pengusaha swasta local dengan menjual sahamnya ke pihak asing akan mendapat fresh money yang besar. Seperti halnya pemilik pabrik rokok Sampoerna mendapat uang tunai sebesar Rp. 18,58 triliun dengan menjual 40% saham milik keluarga Sampoerna ke Philip Morris, pemegang merk rokok Malboro, asal Amerika Serikat. Bahkan, selanjutnya, Philip Morris pun terus memburu saham Sampoerna melalui penawaran tender , yang akhirnya menguasai 97% saham PT HM Sampoerna, dengan mengeluarkan dana Rp. 45,066 triliun. “ Semua kami bayar dengan dana tunai,’’ ungkap Martin King, sesaat setelah dinobatkan menjadi Presdir HM Sampoerna yang baru.[2] Alhasil, berpindah tanganlah perusahaan local kebanggaan Indonesia itu ke tangan perusahaan asal Amerika Serikat.
            Jadi, pengusaha lokal membangun usaha, sudah maju, lalu saham dijual keperusahaan asing, dan mereka dapat duit gede. Ibaratnya, jual beli perusahaan. Tak peduli nasionalisme. Tak peduli perusahaan itu jatuh ke tangan asing. Begitulah, cara berfikir pedagang (pengusaha): selau cari untung.
            Tapi celakanya, cara berfikir (baca:mental) pedagang itu juga diadopsi mentah-mentah oleh para birokrat, para pengelola negri ini (baca:pejabat pemerintah dan legislatif), terutama pemegang otoritas perusahaan-perusahaan Negara atau lebih akrab disebut BUMN. Alasannya: privatisasi!
            Cara-cara pengusaha swasta lokal yang menjual perusahaannya ke tangan asing atau pelepasan saham pemerintah di BUMN itu kepihak asing, sebetulnya bisa saja diproteksi. Caranya, melalui produk hokum yang ketat dengan batas-batas kepemilikan saham perusahaan asing.
            Jadi, kalau sekarang ini perusahaan asing bisa meraja lela menguasai lahan-lahan di Indonesia, tentu saja hal ini besar kemungkinannya ada unsure kesengajaan dari pihak kita. Dan, hal inilah yang patut dipertanyakan: kenapa bisa? Alasan klasiknya, lantaran ekonomi kita sedang krisis, pemerintah tidak punya duit, pemerintah perlu menutup lobang APBN, dan alasan segudang lainnya. Namun, apakah pembuat kebijakan tidak memikirkan apa imbasnya, bagaimana untung ruginya untuk masa depan bangsa ini, berapa besar repatriasi (pemulangan) yang dibawa bangsa asing dari negri ini, berapa banyak karyawan atau buruh yang bakal menganggur? Bukankah dengan membiarkan semakin jauh hal ini akan mengakibatkan tingginya ketergantungan kita terhadap pihak asing? Dengan kata lain, kita sudah menyerahkan diri dibawah cengkraman atau dijajah pihak asing, dan kita semakin tidak punya daya, harga diri, dan keberanian. Kita memang sudah dijajah tanpa senjata, tanpa harus berperang.

Diangkat dari catatan
Buku Di Bawah Cengkraman Asing
Karya Wawan Tunggul Alam


[1] Majalah Swa, Juli 2006
[2] Kompas, 19 Mei 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar