Selasa, 30 September 2014

Konflik Aceh : Hobi atau Kewajiban ?

Oleh.Hasanuddin Yusuf Adan


Dalam perputaran sejarah di Aceh terkesan masyarakat nya doyan berperang dan tidak mau berhenti sebelum sampai masa klimaks. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kali perang, baik dalam skala besar maupun kecil, seperti perang melawan Portugis, Belanda, Jepang dan dua perang besar melawan Indonesia pada masa Orde Lama (DI/TII) dan masa Orde Baru (GAM). Dalam skala kecil mungkin diwakili oleh Perang Cumbok, kasus jubah puteh dan lain sebagainya. Yang menarik diperhatikan dalam konflik demi konflik di Aceh adalah rakyat Aceh tidak pernah menerima kekalahan dalam arti penyerahan diri pimpinan atau penyerahan kedaulatan dan kekuasaan.

Dalam rentetan sejarah, Aceh tidak pernah dikalahkan dan tidak pernah menyerah kalah, walaupun mujahidin dan mujahidah berganti generasi dari satu generasi ke generasi lainnya. Dalam perjuangan menegakkan Negara Islam Aceh dalam bingkai Negara Islam Indonesia yang bermula pada tahun 1953, pimpinan ulama dan pimpinan besar Muhammad Daud Bereueh, Aceh tidak kalah walaupun juga tidak bisa disebut menang. Paling tidak, demikianlah ungkapan yang sering dilantunkan bekas menteri perangnya, (alm) Hasan Saleh dalam beberapa kesempatan di masa hidupnya.

Perihal yang sama muncul pula dalam Perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang dicetus oleh Tengku Hasan Muhammad di Tiro pada tahun 1976. Perjuangan yang memakan waktu lebih kurang 29 tahun tersebut berakhir dengan perdamaian yang tidak mengalahkan Aceh dan tidak memenangkan Indonesia. Perdamaian ini tentu saja menjadi satu berkah dan keunikan tersendiri buat rakyat Aceh.

Watak Aceh
Arys Medan dalam bukunya Mengapa Daud Bereueh Berontak dengan runut menggambarkan bagaimana kerasnya watak rakyat Aceh sehingga ketika mereka berjuang sulit berhenti sebelum mencapai tujuan. Katanya, orang Aceh lebih baik syahid dalam peperangan ketimbang malu akibat kekelahan yang harus ditanggung badan dalam kehidupan. Orang Aceh bermental baja, demi Islam nyawanya berani dikorbankan, demikianlah cuplikan watak Aceh yang digambarkan oleh Arys Medan.

Fanatisme yang dimiliki rakyat Aceh dari zaman ke zaman sangat terkait dengan perjuangan agama. Hanya kerena agamalah mereka mau berjuang mati-matian, kondisi seperti ini, tergambarkan dalam beberapa kali perang baik melawan penjajah Belanda maupun rezim Indonesia yang nasionalis-sekularis. Dalam perlawanan terakhir yang dimotori oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), fanatisme itu terbelah dua. Pertama, fanatisme perjuangan demi membela panji-panji Islam yang dimotori oleh mantan-mantan pejuang DI/TII dan sebagian kader Muslim. Kedua, perjuangan yang lebih cenderung melawan dominasi fanatisme Ke-Acehan yang didominasi mayoritas kaum muda.

Kalau fanatisme pertama itu lebih terkait dengan eksistensi keberadaan harga diri Aceh yang identik dengan Islam, maka fanatisme kedua lebih dipengaruhi oleh perkembangan globalisasi dunia maya. Karenanya, apa saja bentuk perjuangan Aceh dan bagaimana model perjuangannya tetap dalam konteks Islam, namun metode dan teknisnya yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Sebagai contoh, ketika Islam dibenci oleh penguasa dunia, maka perjuangan Aceh itu tetap berorientasi Islam namun bermetodologi fleksibel. Dengan demikian watak asas ke-Acehan akan tetap eksis dalam sebuah strategi yang ambivalen dan fleksibel.

Doktrin Agama
Hampir semua konflik yang berorientasi perlawanan di Aceh dipicu oleh motif agama. Perlawan terhadap kaum penjajah lebih di dominasi oleh faktor agama ketimbang nasionalisme Aceh. Dua kali perlawanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar